Monday, 9 October 2017

FORUM PUISI DAN SYAIR ASEAN 2017



Forum Puisi dan Syair Asean 2017 di Malaysia Ditutup
Sastra dan Politik Jadi Perbincangan Hangat pada Forum Puisi dan Syair Asean 2017 
Rabu, 04/10/2017 | 01:27

Noir, Rusli dan Raja Ahmad (Foto: Ist)

KUALA LUMPUR-TIRASTIMES: Perkembangan sastra di suatu negara sangat tergantung pada kebijakan dan keputusan politik masing-masing penguasa. Oleh sebab itu, tak ada pilihan yang paling tepat kecuali sastrawan harus terjun ke dalam dunua politik agar dapat memberi warna terhadap kebijakan sastra.

Kesimpulan itu dipetoleh dari sesi diskusi yang menampilkan dua pembicara utama  mading-mading Rusli Marzuki Saria (Indonesia) dan Dr. Siti Zainun Ismail (Malaysia) pada Forum Puisi dan Syair Asean di hari terakhir, Sabtu (30/9) di Gedung Dewan Bahada dan Pustaka (DBP) Kuala Lumpur, Malaysia.

Rusli Marzuki Saria mengungkapkan pengalamannya di masa lalu waktu menjadi wakil rakyat di Provinsi Sumbar. Rusli terus melalukan pendekatan dengan penguasa agar ptogram pembinaan dan pengembangan seni budaya dapat didukung melalui dana pemerintah.

''Para sastrawan tak boleh alergi terjun dalam berbagai posisi baik eksekutif maupun legislatif agar kegiatan sastra tidak dianaktirikan. Tapi persoalannya sekarang banyak sastrawan yang hanya asyik dengan dirinya. Akibatnya sastra terus saja terpencil dari pembacanya,'' kata Rusli yang bakal dianugerahi Sea Write Award 2017.

Sementara Siti Zainon Ismail lebih banyak bercerita tentang pengalaman bersastra yang sudah dilakoninya puluhan tahun.

Di luar acara diskusi formal srcara terpisah sejumlah sastrawan beberapa negara memperbincangkan topik sastra dan politik. 

Sastrawan Malaysia, Engku Raja Ahmad Aminullah mengungkapkan para sastrawan di negaranya juga mengalami hambatan-hambatan berkspresi karena faktor-faktor politis.Termasuk penyediaan dana yang mencukupi dalam mendukung kegiatan  sastra.

Sementara sastrawan Singapura, Noor Hasnah Adam mengatakan para sastrawan Melayu mengalami keterbatasan dalam menerbitkan buku-buku sastra karena proses seleksi yang cukup ketat. 

''Memang ada subsidi penerbitan buku sebesar 2.500 dolar Singapura per buku, tapi begitu sulit mendapatkannya karena harus bersaing ketat,'" kata Noor yang penggemar motor besar ini.

Kritikus sastra Indonesia, Maman S. Mahayana menyatakan secara politis pethatian pemerintah terhadap pengembangan sastra masih terbatas padahal gerakan literasi sudah digaungkan dan menjadi keputusan politik.

Terkait masih terpencilnya sastra dari pembaca, Maman mengritik banyak sastrawan masa kini cenderung melakukan 'duplikasi' atas karya sastrawan pendahulunya. Hal sebagai akibat enggannya para sastrawan melakukan penggalian dan pendalaman pada karya sastra pendahulunya.

Maman mencontohkan bagaimana Sutardji Calzoum Bachri (SCB), Sapardi Djoko Damono dan Rendra melakukan pengkajian dan pendalaman atas puisi Chairil Anwar hingga menemukan kekhasan yang baru. Begitu pula Afrizal Malna mendalami puisi-puisi SCB. Begitu pula Eka Kurniawan jelas sekali mendalami karya-karya Pramoedya Ananta Toer. 

FPSA 2017 ditutup secara resmi Sabtu malam (30/9) di Gedung DBP, Kuala Lumpur. Tampak hadir CEO ITBM, Mohd. Khair Nfaduron, Presiden PENA Malaysia, Saleeh Rahamad dan para undangan dan sastrawan.(Ich)

Sumber berita- Tirastimes

En. Rusli Marzuki

No comments:

Post a Comment